Berita UtamaEkonomi KreatifNasionalSOSBUD

Pra Kongres I Kebudayaan Batak Toba, Gelorakan Paradigma Baru Tata-Kelola Adat Batak Toba dengan Prinsip 3E

JAKARTA, tanobataknews.com

Dari event Pra Kongres I Kebudayaan Batak Toba dan Bulan Kebudayaan Batak, Lokus Adat Budaya Batak (LABB) gelorakan “Paradigma Baru Tata Kelola Adat Batak Toba (3E: Esensial, Efektif dan Efisien),” yang diharapkan sekaligus dapat menjawab kebutuhan kalangan Milenial, yang dikhawatirkan makin menjauh dari adat.

Hal ini menjadi perbincangan hangat pada sesi-3 hari Selasa, 27 September 2022, di Balai Soseilo Soedarman, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta Pusat. Dapun Pembicara adalah Ketua Umum Dewan Mangaraja LABB, Brigjen TNI (Purn) Berlin Hutajulu; dengan Pembahas: 1) Prof. Dr. Payaman Simanjuntak; 2) Drs. H. Ramses Hutagalung, M.M; 3) Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu (PBB), Lambok F. Sihombing, S.Pd; dan Moderator: Dr. Pontas SInaga, M.Sc dari Batak Center.

Dalam paparannya, Ketua Umum LABB, Brigjen TNI (Purn) Berlin Hutajulu mengatakan, para generasi sekarang perlu memberikan solusi terhadap pelaksanaan adat Batak yang sering di cap, mahal dan ribet. Selain itu, tantangan pelaksanaan adat yang diakui banyak item yang bertele-tele, dirasa perlu disederhanakan kembali kepada substansinya saja.

Sedangkan pemahaman paradigma baru sesuai 3E yaitu: Esensial artinya, hakikat atau makna asli adat itu tidak boleh hilang walaupun wujud pelaksanaannya kelihatan dan atau berbeda; Efektif artinya, bahwa pelaksanaan adat itu hanya melakukan ritual-ritual dan seturut esensinya; dan Efisien artinya, pelaksanaan adat tersebut betul-betul berfokus pada esensinya dan efektif sehingga tidak harus mahal dan berlama-lama.

Dijelaskan Berlin Hutajulu, adapun maksud dan tujuan pelaksanaan 3E adalah: (1). Generasi muda atau milenial Batak di Jabodetabek lebih memahami, mencintai dan merasa memiliki adat Batak Toba; (2) Pengeluaran biaya tidak terlalu mahal tetapi proporsional dan perlu; (3) Pelaksanaan ruhut-ruhut paradaton (sendi-sendi peradatan) Batak Toba tidak rumit dan berlama-lama; (4) Pelaksanaan acara adat Batak Toba dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat (selesai pada pukul 17.00 WIB).

Dalam prakteknya, kata Belin Hutajulu, salah satu yang perlu dikembalikan kepada substansi antara lain, sesi sinamot (mahar) yang masih diulang kembali di Pesta Unjuk, padahal itu sudah disetujui pada acara sebelumnya dalam ‘Marhata Sinamot’ (Pembicaraan khusus mahar) atau yang sering disebut acara 3M (Marhusip, Martumpol dan Mar-Ria Raja). Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk hal ini bisa hampir satu jam bersama rangkaiannya, dan itulah yang disederhanakan.

Menurutnya, agar efektif dan tanpa menghilangkan sesensinya, sebaiknya langsung pada pembicaraan untuk memenuhi sinamot.

“Sebaiknya bukan lagi membicarakan sinamot dari awal di Pesta Unjuk, sebagaimana yang sering dilakukan sekarang ini. Sebab itu sudah tuntas dibicarakan pada Marhata Sinamot sebelumnya. Jadi yang dibicarakan adalah, soal pemenuhan sinamot sesuai pembicaraan sebelumnya. Ini sangat menghemat waktu, karena prosesi ini bisa memakan waktu hampir satu jam,” tandas Jenderal yang pada masa aktifnya sebagai prajurit, banyak bertugas di Makassar ini.

Foto (ki-ka): Prof. Dr. Payaman Simanjuntak, Brigjen TNI (Purn) Berlin Hutajulu, Drs. H. Ramses Hutagalung, MM, Lambok F. Sihombing, S.Pd, Dr. Pontas Sinaga

Selain itu, penyederhanaan pada sesi Panandaion (Pengenalan) sudara-saudara pihak yang menikah, diluar “Suhi ni Ampang Na Opat” (Segi Empat Unsur Terdekat), tidak perlu satu-persatu diperkenalkan.

“Karena ini juga sangat memakan waktu. Dengan satu-per satu tampil di panggung, dengan iringan musik setiap penampil. Mestinya ini dibuat sekaligus berjejer dan iringan musik hanya sekali saja. Namun untuk Suhi ni Ampang Na Opat itu, biarlah satu per satu tampil,” imbuhnya.

Masalah Ulos Holong (Ulos kasih), ini juga dapat disederhakanan dengan hanya satu dua saudara terdekat yang memberikan Ulos, sedangkan yang mengikuti (rombongan lainnya) dapat memberi berupa Uang sebagai pengganti ulos.

Demikian juga masalah Marsibuha-buhai (acara berdoa pagi-pagi sebelum acara dimulai), tidak harus memotong hewan ternak utuh (yang sering disebut lengkap dengan kepala hingga ekor), yang kemudian dibalas dengan menyediakan ikan mas dari pihak besan.

“Esensinya kan berdoa bersama antara kedua belah pihak, pihak laki dan perempuan, untuk kelancaran acara pada hari itu. Terus, makan bersama. Kami kira ini perlu disederhanakan. Tidak harus menyediakan sajian makanan yang lengkap dengan ‘Namargoar’ (Makanan dari Ternak secara Lengkap) dan Dengke (Ikan Mas). Cukup seperti makanan sarapan pagi. Yang penting doa bersamanya terpenuhi. Dan ini ada penghematan biaya disini,” bebernya.

Untuk merubah paradigma, Berlin Hutajulu mengajak para Pemuka Adat dan Masyarakat Adat, agar lebih menggunakan prinsip, seberapa sanggupnya pihak yang akan melaksanakan adat, baik suka maupun duka, dari situlah beranjaknya.

“Untuk menghindari momok pembiayaan yang selalu di cap mahal dan tinggi, maka pola berpikirnya harus kita rubah. Harusnya beranjak dari seberapa kesanggupan dari pihak yang akan melaksanakan adat (Hasuhuton) itu sendiri, baik acara suka maupun duka. Bukan menghitung seberapa banyak yang dibutuhkan. Jika menghitung seberapa banyak yang dibutuhkan, maka pihak hasuhutonpun bisa-bisa merasa berat dan bahkan berhutang untuk melaksanakan adat. Ini yang harus dirubah,” pesannya.

Bahkan dalam pengakuannya, pernah membantu pelaksanaan Pesta Adat Pernikahan pihak keluarga prihatin, dengan biaya Rp. 10 juta-an (yang umumnya ratusan juta).

“Tentu, dengan prinsip Esensinya tetap ada, unsur-unsur pihak adatnya terpenuhi, namun jumlah dari berbagai pihak tentu harus diminimkan. Demikian juga satuan nilai-nilai uang yang diserahkan, sangat minim dan perlu permakluman. Demikian pula jumlah undangan hanya puluhan orang saja, dan makanan cukup sederhana. Hal ini bisa dilakukan dalam kondisi khusus, yang penting berjalan sesuai tata-kelola adatnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Penanggap Prof. Dr. Payaman Simanjuntak, APU memperkuat paradigma baru tata kelola adat Batak Toba yang dihasilkan LABB, sebagai organisasi berhimpunnya sekitar 300-an Ketua-ketua Marga Masyarakat Batak yang ada di Jabodetabek itu.

Dalam pandangannya, Prof. Dr. Payaman Simanjuntak mengatakan, yang esensial dan sudah memang seharusnya ada sesuai dengan substansi adatnya, tidak dihilangkan.

“Dalam hal 3E yang dimaksud, artinya, yang esensial dan sudah memang seharusnya ada sesuai dengan substansi adatnya, tidak dihilangkan. Namun yang tidak perlu ada, tidak perlu juga di-ada-adakan. Atau, yang tidak penting, tidak perlu ada juga tidak apa-apa. Karena ini akan menambah waktu dan biaya,” ungkapnya.

Payaman justru menceritakan saat menikahkan anaknya, dulu, ketika dirinya masih menjabat di Kementerian Tenaga Kerja, memulai acara adat dari pukul 15.00 dan dapat selesai pada pukul 18.00 WIB. Dan undangan hanya sekitar 300-an orang, yang terdiri dari saudara-saudara dekatnya, serta seluruh unsur-unsur adat terpenuhi.

Namun untuk acara resepsi, mulai dari pukul 18.00 hingga pukul 21.00 WIB, itu bagi para relasi dan rekan-rekan. Artinya, undangan terpisah antara saudara-saudara dekat dengan relasi, sehingga tidak sampai menghabiskan waktu banyak dan bertele-tele.

Adapun penanggap Drs. H. Ramses Hutagalung, M.M sangat setuju dengan tata kelola Adat Batak Toba yang perlu diringkas dan tidak berbiaya tinggi. Sebab dirinyapun pernah mengalami kedukaan, dimana abang kandungnya meninggal di Tapanuli Tengah, namun dia yang harus mengambil alih tanggungjawab acara adatnya.

Bahkan dikatakan Ramses Hutagalung, tensinya sempat naik dan masuk klinik, akibat munculnya perhitungan biaya hingga Rp. 120 juta, untuk acara kedukaan adat abangnya tersebut. Sementara, kehadirannya disanapun, tidak bisa terlalu dicampuri olehnya, karena ada istilah yang mengatakan “Sidapot Soluk do Na Ro” artinya, pihak saudara yang hadir dari luar daerah  tersebut, hanya bisa mengikuti saja, dan tidak bisa ikut campur.

Menurutnya, bila dalam kedukaan, sekalipun jenis adatnya adalah Saor Matua (Meninggal Dengan Keturunan sudah semua Menikah), tetap melihat kondisi dari para keturunannya.

“Karena tidak selalu seseorang meninggal dengan status Saor Matua, keturunannya selalu orang berada semua. Walaupun sudah seluruhnya menikah dan punya keturunan lagi. Perlu disederhanakan, termasuk jumlah para personil rombongan kelompok yang akan diberikan amplop sesuai unsur-unsur adatnya,” pungkasnya.

Foto: Lambok F. Sihombing, S.Pd (Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu) sebagai Penanggap

Sementara Ketua Umum DPP Pemuda Batak Bersatu (PBB) Lambok F Sihombing, S.Pd sebagai Penanggap terakhir mengatakan sangat setuju dengan upaya-upaya penyederhanaan tata kelola adat Batak Toba. Diapun menangkap aspirasi dari kalangan muda milenial yang mengatakan bahwa adat Batak itu berbiaya tinggi dan ribet.

Bahkan Lambok Sihombing mengutip obrolan diantara kalangan muda Batak yang mengatakan, jika adat di tetangga berbiaya murah dan tidak ribet.

“Banyak kalangan muda milenial mengatakan, adat Batak Toba itu berbiaya tinggi dan ribet. Nggak seperti tetangga, nikah, pasang tenda, pasang organ tunggal, ada makanan, beres. Nggak ribet,” ungkapnya.

Namun demikian, Lambok Sihombing mengatakan, pihaknya siap bekerjasama untuk mensosialisasikan paradigma baru tata kelola adat Batak Toba, khususnya melalui seluruh jaringan sekretariat PBB di seluruh Indonesia.

“Kami sangat merespons upaya yang dilakukan Batak Center dan LABB yang ingin melakukan sosialisasi paradigma baru Adat Batak Toba. Mohon kami dibimbing, agar kami bisa masuk ke sektor-sektor lain selain kedukaan yang menjadi roh-nya PBB. Kami siap bekerjasama untuk mensosialisasikan, paling tidak di seketariat PBB yang sudah ada di 27 provinsi, 198 kota/kabupaten, dan ada kurang lebih 1118 kesekretariatan di seluruh Indonesia, termasuk mancanegara,” pungkasnya.

Diketahui, Pra Kongres I Kebudayaan Batak Toba dan Bulan Kebudayaan Batak ini diselenggarakan oleh Batak Center, yang Panitianya diketuai, Irjen Pol. (Purn) Drs. Erwin T.P Lumban Tobing, yang berlangsung selama 2 (dua) hari, dari tanggal 26-27 September 2022.

Pada acara Pembukaan, Dr. H. Sandiaga S. Uno, M.B.A dari Bali, membuka acara secara resmi via zoom, dan disambut dengan pemukulan gong oleh Ketua Umum Batak Center, Ir. Sintong M. Tampubolon di Balai Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kemenparekraf, Jakarta Pusat. DANS

Rekomendasi Berita